Follow us on:

Pages

Perjalanan Spiritual

Dalam menempuh jalan spiritualitas, hambatan-hambatan yang dihadapi Syaiful dalam perjalanannya adalah bagaimana belajar tentang akhirat dan metode-metode peribadatan, baik secara otodidak maupun melalui bimbingan alim ulama (guru). Syaiful tidak pernah berhenti mencari, diiringi dengan permohonan agar Allah senantiasa memberikan taufik-Nya. Dalam renungannya, Tuhan menyuruh Syaiful agar berhati-hati jangan sampai kufur, agar tidak melakukan bermacam-macam maksiat. Allah SWT telah menetapkan adanya pahala yang kekal bagi siapa pun yang mentaati-Nya, demikian pula sebaliknya, ia pun akan mendapat siksa yang kekal pula jika mendurhakai dan berpaling dari-Nya.
Setelah mengenal Tuhan, maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana Syaiful menemukan pola beribadah yang benar kepada-Nya. Masalah ini bukan saja berkenaan dengan perkara mengenai tatacara, namun lebih dalam dari itu, yakni menemukan sejumlah cara dan persyaratan yang dibutuhkan agar mampu berkhidmat kepada–Nya secara lahir-batin. Prosesnya secara teknis adalah Syaiful memperoleh keyakinan yang kokoh dengan bantuan tauhid, selanjutnya mempelajari ilmu fiqih, kemudian beribadah sesuai dengan tata aturan lahiriah dan akhirnya memperoleh makna batiniah dalam melakukan ibadah.

Dalam proses ini, maka hal segera tersibak dalam sanubari Syaiful M. Maghsri yang sedang menempuh jalan spiritual  yaitu terbukanya tirai kejahilan dan semangkin menyadari banyaknya dosa yang telah ia kerjakan. Pada tahapan ini, Syaiful harus menemukan kesucian diri dengan bertobat. Ia harus membersihkan diri dari maksiat, menyesali semua kekeliruan yang telah dilakukannya serta mohon agar semua dosanya diampuni Allah SWT. Syaiful memohon agar Allah SWT sudi membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa, ia harus mengenali betul semua jenis maksiat yang telah  dilakukannya dan harus menempuh sejumlah tatacara agar tobatnya bisa disebut dengan taubatan nashûhâ- tobat yang sebenar-benarnya tobat. Setelah sejumlah tata cara dan prosedur tobat telah dilakukan, maka Syaiful M. Maghsri merasa rindu untuk melakukan ibadah dan semangkin kokoh untuk menempuh jalan spiritual. Syaiful merenung kembali dan tiba-tiba disekitarnya terdapat hambatan-hambatan yang mengepung dirinya, menghalanginya untuk konsisten dan fokus di jalan ibadah.

            Hambatan-hambatan yang dialami Syaiful antara lain berupa dunia, makhluk,  setan serta hawa nafsunya sendiri. Untuk mengahadapinya tak ada pilihan lain, kecuali harus menjauhkan dan menyingkirkan hambatan-hambatan ini agar mampu mencapai tujuan jalan spiritual. Inilah yang disebut mengenal hambatan menuju jalan spiritual. Dalam hal ini, Syaiful harus meniti jalan spiritual seperti di bawah ini:   
Pertama, tajarrud‘anid-dunya (membulatkan hati, sampai tak bisa ditipu oleh dunia).
Kedua, memelihara diri supaya tidak bisa disesatkan oleh makhluk.
Ketiga, memaklumkan perang kepada setan (sebab kalau tidak diperangi, setan akan terus saja menghalangi)
Keempat, menaklukan nafsu sendiri. Ini merupakan hal yang paling susah sebab tidak bisa dikikis habis sama sekali dan tentunya tidak mungkin terjadi. Hal yang harus dilakukan adalah mengarahkan dan mengelola nafsu menuju ke arah yang benar dan lebih baik. Nafsu memang ada gunanya, namun hal itu jangan sampai menguasai kita. Setiap orang takkan bisa mengikis habis hawa nafsunya sama sekali. Jika memang bisa, celakalah dia karena bisa jadi dia bukan manusia lagi.
            Setelah menyadari semua ini, kini Syaiful M. Maghsri akan dihadapkan dengan sejumlah hambatan-hambatan yang mungkin saja dapat menjatuhkannya ke dalam jurang curam dan gagal menemukan tujuan jalan spiritualitasnya. sejumlah hambatan itu antara lain :
Pertama, rezeki. Masalah yang akan ia hadapi adalah sejumlah pertanyaan seperti : bagaimana makanku, pakaianku, bekal keluarga dan sebagainya.
Kedua, sejumlah kekhawatiran mengenai berbagai kemungkinan bahaya yang mungkin ia temui yang berujung pada kebimbangan tiada henti.
Ketiga, prediksi mengenai terjadinya bermacam-macam kesulitan dan masalah. Disini ia bertekad untuk melawan setan dan menundukkan nafsunya yang amat besar sebagai akibat dari kebimbangan yang menerpa dirinya.
Keempat, masalah kesiapan menghadapi sejumlah takdir Allah yang tidak semuanya terasa manis. Sebab yang manis menurut manusia belum tentu manis menurut Allah, demikian pula sebaliknya yang terasa pahit menurut akal sehat manusia belum tentu pahit menurut Allah.
            Inilah yang dimaksud  dengan metode kempat yakni menaklukan godaan. Dalam tahapan ini, hal yang dipertaruhkan Syaiful adalah tingkat dan derajat ketawakalannya dan keridaannya kepada semua takdir Allah. Tentu saja takdir ini ia terima dengan ridho setelah HM. Syaiful M. Maghsri bekerja keras dan berjuang sepenuh tenaga. Setelah semua godaan berhasil ia lalui, maka dengan izin Allah SWT Syaiful telah lulus menempuh tanjakan ini. Dengan izin Allah pula, ia mampu kembali ke jalan spiritual.
            Tantangan selanjutnya adalah bahwa setelah Syaiful merasakan nikmatnya beribadah, Syaiful kembali merasakan kelesuan, lemah, malas, tidak bersemangat dan tidak terdorong untuk beramal sosial sebagaimana mestinya. Ia kembali dihadapkan pada hambatan nafsu yang mengarah pada sikap lalai dan senang-senang, istirahat, menganggur serta tidak mau bekerja keras. Bahkan dalam keadaan ini, ia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya bahkan mengarah kepada bencana dan memperbodoh diri. Lama kelamaan nafsu menguasai dirinya sehingga amatlah mudah ia melakukan tindakan jahat dan durhaka.
            Dalam keadaan ini, Syaiful M. Maghsri harus mampu mempertahankan motivasinya untuk terus beribadah dengan memasuki maqam khauf dan rajâ’ (harap dan cemas). Ia selalu berharap mendapatkan ganjaran besar dari Allah SWT. Syaiful juga menyadari dengan sepenuh hati untuk mengkhawatirkan segala siksanya kelak sebagai ganjaran dari semua perbuatan maksiatnya selama ini. Inilah yang dimaksud dengan metode kelima yakni membangkitkan motivasi-motivasi yang akan mendorong Syaiful untuk konsisten di jalannya. Dengan khauf dan rajâ’, insya Allah akhirnya ia mampu kembali ke jalan spiritual dengan selamat.
            Meskipun demikian, segala susah payah yang telah Syaiful M. Maghsri jalani tidak serta merta menjadikannya lulus sebagai ahli spiritual. Ia harus tetap hati-hati dengan dua hama perusak nilai spiritual, yaitu riya dan ujub. Boleh jadi sewaktu-waktu ia berpura-pura dengan ketaatannya agar terlihat baik oleh manusia lain. Atau bisa jadi ia berhasil mencerca dirinya sendiri agar tidak riya, tetapi kemudian ia terkena penyakit sombong (ujub). Dan pada akhirnya, kesombongannya itu merusak dan menghancurkan spiritualnya. Disinilah Syaiful dihadapkan dengan metode Keenam, yakni mencoba untuk ikhlas.
            Ikhlas artinya memurnikan ibadah, membuang semua jenis kesombongan dan takabbur. Pada tahapan ini, kewaspadaannya bertambah seiring dengan perlindungannya oleh Allah SWT. Ia sedemikian tenggelam,‘asyiq-ma‘syûq bersama Allah SWT. Syaiful M. Maghsri  dengan mudah merasakan kebaikan-kebaikan–Nya berupa karunia taufiq dan pemeliharaan–Nya berupa pengokoh motivasi. Demikianlah pula takzim dan tahrim dari sesama manusia. Sejumlah penghormatan itu lama-kelamaan menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Ia dimuliakan, dihormati dan sangat banyak manusia berterimakasih kepadanya atas semua petunjuk dan suri teladan yang ditunjukkan dalam amal sosialnya. Keadaan ini sewaktu-waktu bisa saja menjadikannya lupa berterimakasih kepada Allah SWT sehingga pada akhirnya ia bisa jatuh ke dalam kekufuran sebagai akibat karena sering ‘lupa bersyukur’. Agar terhindar dari godaan seperti ini, maka Syaiful harus memasuki ‘aqobah selanjutnya, yakni metode ketujuh. Inilah ‘aqobah terakhir yang akan meneguhkannya sebagai seorang yang benar-benar menempuh jalan spiritualitas, sedapat mungkin ia memperbanyak puji dan syukur atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan–Nya.

Setelah Syaiful selesai menempuh tanjakan yang terakhir ini, ia turun ke dataran. Syaiful bertemu dengan maksud dan tujuan spiritualitasnya. Ia mulai memasuki dataran karunia dan padang rindu serta halaman mahabbah. Setelah itu Syaiful memasuki taman keridaan, kebun kecintaan dan kehangatan hati  hingga sampailah ia di hamparan kegembiraan, kedekatan martabat, tempat munajat, beroleh pakaian kehormatan dan kemuliaan. Ia  merasa benar-benar merasakan nikmat yang hakiki. Meski raganya masih di dunia, tetapi hatinya merasa sudah kokoh berada di akhirat.

Ketaatan Sebagai Jalan Spiritual

Di dalam kehidupan kita selalu dihadapkan pada pilihan. Kita merasa tidak berdaya oleh banyaknya pilihan yang harus kita pilih. Kebebasan tampak bagaikan musuh walau terkadang bisa bermanfaat sebagai teman. Betapa pun kita menyukai, kita juga kadang-kadang merasa terkutuk olehnya. Apa gunanya semua pilihan itu, kalau kita gagal memilih apa yang baik, tepat dan benar. Kita boleh berbicara dan menulis apa pun yang masuk ke dalam pikiran, meskipun itu salah, jorok atau menebarkan kebencian. Kita boleh mengejar minat apapun yang kita inginkan selama hal itu tidak merugikan orang lain.
Kemerdekaan sejati didapatkan Syaiful dengan menyerahkan segenap keberadaan dirinya kepada Allah, serta mengabdikan kehendaknya dalam sebuah kehidupan yang penuh dengan ketaatan. Inilah yang disebut sebagai pengorbanan diri sendiri. Pilihan tersebut tampak menarik bagi Syaiful; hanya ada satu pilihan hidup yang cukup tepat, yaitu hidup dalam ketaatan. Sesungguhnya inti dari pengabdian kehidupan manusia adalah kerelaan hati kita sendiri. Hal ini tergambar dari tindakan menerima dengan sepenuh hati yang dikombinasikan dengan tindakan ketaatan secara sempurna, tanpa mempertanyakan sebuah tugas atau misi, serta upaya menyelesaikan penugasan kita sebagai hamba-Nya.
Syaiful menyatakan bahwa kehendak Allah bagaikan sebuah bingkisan hadiah yang tersedia bagi umat-Nya. Meskipun ada banyak hadiah lain disana, belum tentu semua itu akan menjadi milik kita. Oleh karenanya, kita harus benar-benar pasrah, dalam artian apapun yang dikehendaki Allah, itulah yang terbaik bagi manusia.
Dalam kehidupan, faktanya kita terkadang bingung mana yang dikehendaki Allah dan mana yang bukan. Kehendak Allah biasanya berkaitan dengan apa yang sudah kita ketahui, bukan apa yang masih kita perkirakan. Oleh karena itu, kehendak Allah hanya memuat satu mandat yang jelas, yaitu bahwa kita harus menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan kita. Seiring berjalannya waktu pada saat membuat pilihan inilah akan kita temukan kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan untuk hidup dalam ketaatan, itulah kehendak Allah bagi kita semua.
Ketaatan yang dipaksakan menunjukkan teologi yang keliru. Kita mengira bahwa kehidupan sejati diperoleh melalui apa yang kita korbankan bagi diri sendiri, bukan melalui apa yang kita berikan kepada Allah. Oleh karena itu, taati perintah-perintah Allah, sebagaimana Allah menganugerahkan rezeki-Nya kepada kita.  Perintah-perintah itu merupakan bagian yang tak bisa dihindarkan, meskipun bukan hal yang menyenangkan. Oleh karenanya, kita harus memenuhi kewajiban kita terhadap Allah dan ketika sesudah selesai, barulah kita bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih nikmat.

Menurut Dr. HM. Syaiful M. Maghsri,DN.Med.,M.Ph , Allah menuntut kita mematuhi pola ketaatan yang sama dalam kehidupan sehari-hari supaya kita bisa menikmati kemerdekaan yang lain. Besarnya kepatuhan kita dalam mengerjakan segala hal dalam kehidupan ini akan menentukan hasilnya kelak. Kualitas persahabatan kita sebagai contoh, akan membawa dampak terhadap keputusan kita dalam pacaran maupun pernikahan. Kalau kita gagal menghormati dan menghargai sahabat-sahabat kita, kecil kemungkinan kita akan memperoleh pasangan hidup yang baik bagi diri sendiri, apalagi menjadi pasangan hidup yang baik bagi orang lain.

Ketekunan dalam belajar akan memastikan keberhasilan dalam profesi apapun yang kita jalani. Kalau kita gagal dalam studi, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang pernah kita impikan untuk dicapai. Integritas dalam karakter, ketrampilan dasar dalam membaca dan menulis, kasih sayang dan kesetiaan dalam persahabatan,dan hidup yang saleh secara universal sangat relevan dimanapun kita tinggal dan apapun yang kita kerjakan. Ketaatan adalah kehendak Allah bagi hidup kita dan ketaatan membawa kita kepada kemerdekaan.
Menurut Syaiful, kita harus menghormati dan menghargai terhadap apa yang sudah dihasilkan oleh kemerdekaan dalam kehidupan. Itulah kemerdekaan untuk menjalani hidup bagi Allah, kebebasan untuk mematuhi kehendak Allah. Satu-satunya jalan yang harus kita jalani mungkin membatasi kebebasan seperti didefinisikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kalau kita lebih dahulu mencari ridho Allah dan kebenarannya, kita akan melakukan kehendak Allah dan menikmati kemerdekaan yang sejati.